Rabu, 21 November 2012

Kenduri sebagai Tradisi Turun-temurun




            Masyarakat jawa memiliki berbagai macam kebudayaan yang sampai saat ini masih dilaksanakan sehingga menjadi warisan budaya. Kebudayaan tersebut melahirkan berbagai macam tradisi yang dianut oleh masyarakat jawa secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Salah satu tradisi yang dianut secara turun temurun adalah tradisi Kenduri (Kenduren). Menurut Agus Sunyoto, selaku pengamat budaya dan sejarah, “Kenduri berasal dari bahasa persia Kanduri yang berarti upacara makan-makan dalam rangka memperingati putri Nabi Muhammad SAW, yaitu Fatimah Az-zahra”.
Kenduri adalah sebuah tradisi adat jawa yang sudah berjalan sekian puluh tahun, mungkin sudah ratusan tahun. Ketika diwawancarai di rumahnya, di dukuh Setuman, desa Kemudo, kecamatan Prambanan, kabupaten Klaten, Tammy Setyaning Haryono selaku penganut tradisi tersebut memaparkan :
Kenduri merupakan acara yang dilakukan sebuah keluarga yang akan memiliki hajat. Acara tersebut dilakukan dengan memberikan makanan yang telah didoakan bersama-sama untuk meminta keselamatan dan kelancaran atas hajatnya. Makanan yang dibagikan berupa nasi gurih, nasi putih, nasi golong, rempeyek kacang, teri, krupuk, tempe, thontho, ayam ingkung, sambel ghepeng, sambel kacang panjang, lalapan, bubur merah, dan bubur putih. Makanan khas kenduri tersebut didoakan bersama kemudian dibagikan kepada para tetangga dan warga setempat.
            Tradisi kenduri memiliki berbagai macam ketentuan khusus yang harus dilaksanakan sesuai adat istiadat yang berlaku sejak zaman dahulu. Berawal dari persiapan berbagai macam makanan khas kenduri yang terdiri dari nasi gurih, nasi putih, nasi golong, rempeyek kacang, teri, krupuk, tempe, thontho, ayam ingkung, sambel ghepeng, sambel kacang panjang, lalapan, jenang (bubur) merah putih, dan  jenang baro-baro, yaitu jenang katul yang diberi parutan kelapa dan sisiran gula jawa. Beberapa dari unsur makanan tersebut memiliki makna tersendiri yang sangat erat hubungannya dengan alam sekitar.
            Unsur-unsur makanan yang terdapat dalam acara tersebut cukup lengkap dan banyak variasi. Masyarakat jawa tentunya memiliki alasan mengapa menyajikan berbagai jenis makanan yang begitu lengkap untuk sebuah acara Kenduri. Berikut dijelaskan alasan mendasar atas penyajian berbagai jenis makanan dalam acara kenduri
Mereka masih percaya akan adanya makhluk halus yang menurut pandangan masyarakat dapat menguntungkan dan ada yang merugikan, tetapi mereka tetap memercayai adanya kekuatan yang melebihi segalanya yaitu yang berasal dari “Gusti Allah”.
Berdasarkan kepercayaan tersebut, mereka seringkali mengaitkan berbagai jenis makanan dengan kegiatan upacara tradisional yang bertujuan untuk mencari keselamatan sebagai upacara syukur, sebagai penolak bala, mohon pengampunan dosa, dan berbagai macam usaha untuk mencari jalan supaya dapat berkomunikasi dengan Gusti Allah.[1]
Pemaparan tersebut dapat dilihat melalui dua sudut pandang. Pertama, cara masyarakat jawa berkomunikasi terhadap Tuhan. Yang kedua, cara mengkomunikasikan tradisi tersebut secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Cara masyarakat jawa berkomunikasi terhadap Tuhan merupakan cara yang unik. Keunikan tersebut dilihat dari makna berbagai unsur makanan yang disajikan, dan manfaatnya bagi masyarakat. Makanan tersebut tidak digunakan semata-mata hanya untuk sesaji, akan tetapi juga digunakan sebagai sedekah berupa makanan yang didoakan dan dibagikan pada warga masyarakat setempat. Mereka percaya bahwa melakukan acara syukuran (Kenduri) dengan menyajikan makanan dan membagikannya kepada warga setempat merupakan salah satu cara untuk dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Selain itu, makna lain dari pelaksanaan tradisi tersebut adalah dihidupkannya integrasi sosial. Seperti yang dideskripsikan oleh Clifford Greetz (1983: 13-104 dalam Tradisi dalam struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan dalam Laksono, 1985, hlm. 89) “Sekalian simbol-simbol yang ditampilkan dalam upacara selamatan secara keseluruhan melambangkan persatuan atau integrasi masyarakat”.
            Sudut pandang yang kedua adalah cara mengkomunikasikan tradisi tersebut hingga dilakukan secara turun temurun. Tradisi tersebut dapat dikatakan telah berhasil tersalurkan kepada masyarakat jawa, karena telah dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mereka mengkomunikasikan tradisi tersebut hingga diikuti oleh keturunan mereka? Padahal pada zaman tersebut belum ada alat komunikasi yang memadai. Ketika diwawancarai pada hari senin, 29 Oktober 2012, Tedjo Sulardi selaku penganut tradisi kenduri memaparkan bahwa tradisi tersebut dibawa oleh nenek moyang yang sudah tiada. Mereka menyebarkan tradisi tersebut kepada anak cucu mereka. Kita sebagai generasi muda hanya menalurikan serta meneruskan tradisi tersebut, melaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada, dan menularkannya kembali kepada anak cucu kita. Itulah cara yang digunakan masyarakat pada zaman dahulu untuk mengkomunikasikan sebuah tradisi, dari generasi ke generasi. #bridgingcourse011




DAFTAR PUSTAKA

Dananjaya. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafitipres.
Endraswara, Suwardi. 2010. Folklor Jawa: Macam, Bentuk, dan Nilainya. Jakarta: Penaku.
Geertz, Hildred. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta : Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan FIS-UI.
Laksono, p.m. 1985. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mumfangati, Titi. 1998. Keutamaan Moral dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa.
Purwadi. 2009. Folklor Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Severin, Werner J dan James W. Tankard, Jr. 2011. Teori Komunikasi: Sejarah Metode, dan Terapan di dalam Media Massa, Edisi Ke-5. Jakarta: Kencana.
Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tuloli, Nani dkk. 2003. Dialog Budaya Wahana Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bangsa. Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Pelestarian dan Pengembangan Budaya Direktorat Tradisi dan Kepercayaan.
Yusuf, Wiwiek Pertiwi, Enik Suryanti Saptorini, dan Suwijah. 1997. Tradisi dan Kebiasaan Makan pada Masyarakat Tradisional di Jawa Tengah. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jendral Kebudayaan.
Prihandaya, Aan. 2012. Sega Gurih dan Endog Abang di Sekaten Jogja. diunduh  tanggal 30 oktober 2012 pukul 12.34 WIB. Terarsip di http://kratonpedia.com/picture-light/2012/2/4/691/Sega.Gurih.dan.Endog.Abang.di.Sekaten.Jogja.html  
Tasmaun, Tiknan. 2011. Filosofi Bubur  ‘Sengkolo’ Merah Putih. diunduh tanggal 30 oktober 2012 pukul 13. 11 WIB terarsip di http://tiknan.blogspot.com/2011/06/filosofi-bubur-sengkolo-merah-putih.html
Ruslan (Ed). 2008. Kenduri Kematian Bukan Pengaruh Hindu Budha. Diunduh hari Kamis, 18 Oktober 2012 pukul 17.04 WIB. Terarsip di http://www.antaranews.com/view/?i=1209299459&c=NAS&s=.
Wawancara dengan :
Tedjo Sulardi (79) selaku penganut tradisi kenduri di Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten pada hari Minggu, 28 Oktober 2012 di dukuh Beji, Kemudo, Prambanan, Klaten pukul 07. 28 WIB
Tammy Setyaning Haryono (33) selaku penganut tradisi kenduri di Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten pada hari Sabtu, 27 Oktober 2012 di dukuh Setuman, Kemudo, Prambanan, Klaten pukul 20.30 WIB





[1] Ernayanti (Ed). 1997 . Tradisi dan Kebiasaan Makan pada Masyarakat Tradisional di Jawa Tengah. Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan.hal. 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar