Masyarakat jawa memiliki berbagai
macam kebudayaan yang sampai saat ini masih dilaksanakan sehingga menjadi
warisan budaya. Kebudayaan tersebut melahirkan berbagai macam tradisi yang
dianut oleh masyarakat jawa secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Salah satu tradisi yang dianut secara turun temurun adalah tradisi Kenduri (Kenduren). Menurut Agus Sunyoto, selaku
pengamat budaya dan sejarah, “Kenduri berasal dari bahasa persia Kanduri yang berarti upacara makan-makan
dalam rangka memperingati putri Nabi Muhammad SAW, yaitu Fatimah Az-zahra”.
Kenduri adalah sebuah tradisi adat jawa yang sudah berjalan sekian puluh
tahun, mungkin sudah ratusan tahun. Ketika diwawancarai di rumahnya, di dukuh
Setuman, desa Kemudo, kecamatan Prambanan, kabupaten Klaten, Tammy Setyaning
Haryono selaku penganut tradisi tersebut memaparkan :
Kenduri
merupakan acara yang dilakukan sebuah keluarga yang akan memiliki hajat. Acara
tersebut dilakukan dengan memberikan makanan yang telah didoakan bersama-sama
untuk meminta keselamatan dan kelancaran atas hajatnya. Makanan yang dibagikan
berupa nasi gurih, nasi putih, nasi golong,
rempeyek kacang, teri, krupuk, tempe, thontho,
ayam ingkung, sambel ghepeng, sambel
kacang panjang, lalapan, bubur merah, dan bubur putih. Makanan khas kenduri
tersebut didoakan bersama kemudian dibagikan kepada para tetangga dan warga
setempat.
Tradisi kenduri memiliki berbagai
macam ketentuan khusus yang harus dilaksanakan sesuai adat istiadat yang
berlaku sejak zaman dahulu. Berawal dari persiapan berbagai macam makanan khas
kenduri yang terdiri dari nasi
gurih, nasi putih, nasi golong, rempeyek kacang, teri, krupuk, tempe, thontho, ayam ingkung, sambel ghepeng, sambel kacang panjang, lalapan, jenang (bubur) merah putih,
dan jenang
baro-baro, yaitu jenang katul
yang diberi parutan kelapa dan sisiran gula jawa. Beberapa dari unsur makanan
tersebut memiliki makna tersendiri yang sangat erat hubungannya dengan alam
sekitar.
Unsur-unsur makanan yang
terdapat dalam acara tersebut cukup lengkap dan banyak variasi. Masyarakat jawa
tentunya memiliki alasan mengapa menyajikan berbagai jenis makanan yang begitu
lengkap untuk sebuah acara Kenduri. Berikut dijelaskan alasan mendasar atas
penyajian berbagai jenis makanan dalam acara kenduri
Mereka masih percaya akan adanya makhluk halus yang menurut pandangan
masyarakat dapat menguntungkan dan ada yang merugikan, tetapi mereka tetap
memercayai adanya kekuatan yang melebihi segalanya yaitu yang berasal dari
“Gusti Allah”.
Berdasarkan kepercayaan tersebut, mereka seringkali mengaitkan berbagai
jenis makanan dengan kegiatan upacara tradisional yang bertujuan untuk mencari
keselamatan sebagai upacara syukur, sebagai penolak bala, mohon pengampunan
dosa, dan berbagai macam usaha untuk mencari jalan supaya dapat berkomunikasi
dengan Gusti Allah.[1]
Pemaparan tersebut dapat dilihat melalui dua sudut pandang. Pertama, cara
masyarakat jawa berkomunikasi terhadap Tuhan. Yang kedua, cara
mengkomunikasikan tradisi tersebut secara turun-temurun dari generasi ke
generasi. Cara masyarakat jawa berkomunikasi terhadap Tuhan merupakan cara yang
unik. Keunikan tersebut dilihat dari makna berbagai unsur makanan yang
disajikan, dan manfaatnya bagi masyarakat. Makanan tersebut tidak digunakan
semata-mata hanya untuk sesaji, akan
tetapi juga digunakan sebagai sedekah berupa makanan yang didoakan dan
dibagikan pada warga masyarakat setempat. Mereka percaya bahwa melakukan acara
syukuran (Kenduri) dengan menyajikan makanan dan membagikannya kepada warga
setempat merupakan salah satu cara untuk dapat berkomunikasi dengan Tuhan.
Selain itu, makna lain dari pelaksanaan tradisi tersebut adalah dihidupkannya
integrasi sosial. Seperti yang dideskripsikan oleh Clifford Greetz (1983:
13-104 dalam Tradisi dalam struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan dalam
Laksono, 1985, hlm. 89) “Sekalian simbol-simbol yang ditampilkan dalam upacara
selamatan secara keseluruhan melambangkan persatuan atau integrasi masyarakat”.
Sudut pandang yang kedua
adalah cara mengkomunikasikan tradisi tersebut hingga dilakukan secara turun
temurun. Tradisi tersebut dapat dikatakan telah berhasil tersalurkan kepada
masyarakat jawa, karena telah dilakukan secara turun temurun dari generasi ke
generasi. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mereka mengkomunikasikan
tradisi tersebut hingga diikuti oleh keturunan mereka? Padahal pada zaman
tersebut belum ada alat komunikasi yang memadai. Ketika diwawancarai pada hari
senin, 29 Oktober 2012, Tedjo Sulardi selaku penganut tradisi kenduri
memaparkan bahwa tradisi tersebut dibawa oleh nenek moyang yang sudah tiada.
Mereka menyebarkan tradisi tersebut kepada anak cucu mereka. Kita sebagai
generasi muda hanya menalurikan serta meneruskan tradisi tersebut, melaksanakan
sesuai dengan peraturan yang ada, dan menularkannya kembali kepada anak cucu
kita. Itulah cara yang digunakan masyarakat pada zaman dahulu untuk
mengkomunikasikan sebuah tradisi, dari generasi ke generasi. #bridgingcourse011
DAFTAR PUSTAKA
Dananjaya. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafitipres.
Endraswara, Suwardi. 2010. Folklor
Jawa: Macam, Bentuk, dan Nilainya. Jakarta: Penaku.
Geertz, Hildred. 1981. Aneka Budaya
dan Komunitas di Indonesia. Jakarta : Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan FIS-UI.
Laksono, p.m. 1985. Tradisi dalam
Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Mumfangati, Titi. 1998. Keutamaan
Moral dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa.
Purwadi. 2009. Folklor Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Severin, Werner J dan James W. Tankard, Jr. 2011. Teori Komunikasi: Sejarah Metode, dan Terapan di dalam Media Massa,
Edisi Ke-5. Jakarta: Kencana.
Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat
Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tuloli, Nani dkk. 2003. Dialog Budaya
Wahana Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bangsa. Jakarta: Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Pelestarian dan Pengembangan
Budaya Direktorat Tradisi dan Kepercayaan.
Yusuf, Wiwiek Pertiwi, Enik Suryanti Saptorini, dan Suwijah. 1997. Tradisi dan Kebiasaan Makan pada Masyarakat
Tradisional di Jawa Tengah. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan
Nilai-Nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jendral
Kebudayaan.
Prihandaya, Aan. 2012. Sega
Gurih dan Endog Abang di Sekaten Jogja. diunduh tanggal 30 oktober 2012 pukul 12.34 WIB. Terarsip di http://kratonpedia.com/picture-light/2012/2/4/691/Sega.Gurih.dan.Endog.Abang.di.Sekaten.Jogja.html
Tasmaun,
Tiknan. 2011. Filosofi Bubur ‘Sengkolo’ Merah Putih. diunduh tanggal
30 oktober 2012 pukul 13. 11 WIB terarsip di http://tiknan.blogspot.com/2011/06/filosofi-bubur-sengkolo-merah-putih.html
Ruslan (Ed).
2008. Kenduri Kematian Bukan Pengaruh
Hindu Budha. Diunduh hari Kamis, 18 Oktober 2012 pukul 17.04 WIB. Terarsip
di http://www.antaranews.com/view/?i=1209299459&c=NAS&s=.
Wawancara dengan
:
Tedjo Sulardi (79) selaku penganut tradisi kenduri
di Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten pada hari Minggu, 28
Oktober 2012 di dukuh Beji, Kemudo, Prambanan, Klaten pukul 07. 28 WIB
Tammy Setyaning Haryono (33) selaku penganut tradisi
kenduri di Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten pada hari Sabtu,
27 Oktober 2012 di dukuh Setuman, Kemudo, Prambanan, Klaten pukul 20.30 WIB
[1]
Ernayanti (Ed). 1997 . Tradisi
dan Kebiasaan Makan pada Masyarakat Tradisional di Jawa Tengah. Jakarta : Direktorat
Jenderal Kebudayaan.hal. 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar