Minggu, 05 Mei 2013


Alfia Ramadhani
12/335701/SP/25360
LAPORAN KUNJUNGAN WISATA KE SOLO
Agenda Rutin Mata Kuliah Sejarah Ilmu Komunikasi dan Media
Jurusan Ilmu Komunikasi 
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada


PENDAHULUAN

Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada angkatan 2012 melakukan kunjungan ke kota Solo pada hari Kamis tanggal 2 Mei 2013. Kunjungan tersebut merupakan agenda rutin program mata kuliah Sejarah Ilmu Komunikasi dan Media. Kunjungan kami ke Solo didampingi oleh dua orang pendamping selaku asisten dosen kami dan dua orang tim riset Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada.
Tempat yang menjadi tujuan utama kunjungan kami adalah Lokananta, dan Museum Pers Nasional. Kedua tempat tersebut menyimpan berbagai macam bukti sejarah komunikasi dan media di Indonesia yang selama ini disimpan dan dirawat dengan baik agar generasi muda mengetahui bagaimana perkembangan komunikasi dan media pada zaman dahulu. Selain kedua tempat tersebut, kami juga mengunjungi Institut Seni Indonesia untuk menyaksikan Festival Film Solo. Kunjungan tersebut mampu membuka jendela informasi kami mengenai sejarah komunikasi dan media di Indonesia, sehingga kami mampu mengetahui sistem dan perkembangan komunikasi dan media dari zaman dahulu hingga sekarang.

LOKANANTA
Lokananta adalah studio dan penyimpanan audio rekaman pertama di Indonesia yang didirikan pada tanggal 29 oktober 1956 dan diresmikan oleh Menteri Penerangan R.I. Soedibjo. Ketika peresmian tersebut, Lokananta diberi nama Pabrik Piringan Hitam Lokananta. Menurut penjelasan dari Ibu Titik selaku Humas Lokananta, asal-usul nama Lokananta diambil dari nama sebuah gamelan yang berasal dari Suralaya. Menurut penuturan beliau, gamelan Lokananta dapat berbunyi sendiri tanpa penabuh dan mampu mengalunkan suara yang indah. Nama Lokananta tersebut diusulkan oleh R. Maladi selaku Direktur Jenderal RRI. Sebagai Unit Pelaksana Teknik Jawatan RRI, Lokananta berfungsi merekam dan memproduksi (menggandakan) piringan hitam untuk bahan siaran 27 studio RRI seluruh Indonesia sebagai Transcription Service (Non-Komersial).
Dalam perkembangannya, Lokananta memiliki zaman keemasan yang dialami sekitar tahun 1956 dan zaman kemunduran pada tahun 1990-an. Pada masa itu, Lokananta merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Departemen Penerangan. Karyawan yang bekerja berjumlah 150 orang yang berasal dari karyawan RRI dan Departemen Penerangan. Zaman keemasan yang diraih Lokananta dilatarbelakangi oleh kemampuan Lokananta dalam memelopori dunia rekaman indonesia dengan perangkat piringan hitam dan pita kaset yang pertama di indonesia. Selain itu artis terkenal pada zaman tersebut banyak yang melakukan rekaman di Lokananta, seperti Gesang, Waljinah, Titik Puspa, Adi Bing Slamet, dan beberapa artis lainnya. Pada 1 Januari 1960 Lokananta diubah statusnya menjadi Perusahaan Negara. Sekitar tahun 1990-an Lokananta mengalami kemunduran yang disebabkan oleh maraknya kasus pembajakan dan perkembangan label rekaman di Indonesia. Kasus pembajakan pada saat itu mencapai 629 kasus. Pada akhirnya, tahun 2001 Lokananta dinyatakan pailit. Hal tersebut disebabkan terlalu sering terjadi pergantian kepemimpinan. Kondisi yang terkatung-katung tersebut menyebabkan tutupnya pemasaran sehingga Lokananta hanya difungsikan untuk menjaga aset saja. Itupun hanya dilakukan oleh 14 karyawan yang tersisa. Beberapa karyawan lain dipulangkan ke RRI dan Departemen Penerangan.
Pada dekade ini, Lokananta berusaha untuk bangkit dari keterpurukan. Dengan usahanya itu, Lokananta kini berada pada dekade konsolidasi atau proses pembenahan. Dalam proses pembenahan, karyawan yang tersisa bekerja secara sukarela. Bentuk pengabdian mereka diwujudkan dengan berbagai usaha seperti membersihkan piringan hitam yang teronggok selama Lokananta dinyatakan pailit, menyewakan lahan kepada pihak ketiga untuk arena futsal dan juga tempat makan atau warung soto.
Pada  tahun 2000, Lokananta mulai berproduksi dengan modal yang telah diusahakan para karyawan pada dekade konsolidasi. Selain itu bantuan juga berdatangan dari berbagai pihak, misalnya sebuah toko yang membantu dengan menyumbangkan 1000 keping kaset untuk Lokananta. Hingga pada tahun 2004 Lokananta resmi menjadi tempat percetakan dari proses produksi hingga pemasaran. Masa kebangkitan ini dibantu oleh Glenn Fredly dalam memperkenalkan Lokananta kepada masyarakat melalui acara Rumah Musik Indonesia’ pada stasiun televisi Indosiar. Musisi terkenal itu melakukan seluruh proses rekaman satu album yang terdiri dari sepuluh lagu di Lokananta. Kami diperdengarkan lagu-lagu Glenn Fredly yang baru saja direkam si  Lokananta beberapa waktu yang lalu. Suara musik yang diperdengarkan terdengar sangat jernih, jelas dan nyaman di telinga. Menurut keterangan pengurus Lokananta yang mendampingi kami, musik tersebut jauh lebih jernih suaranya karena tidak dilakukan compress pada lagu tersebut. Sedangkan lagu-lagu yang biasa kami unduh secara gratis melalui internet sudah melalui proses compress terlebih dahulu untuk memperkecil ukuran file. Selain Glenn Fredly, ada juga band lain yang berencana melakukan rekaman di Lokananta, yakni Efek Rumah Kaca. Tidak hanya itu, untuk memotivasi kalangan muda yang menganggap Lokananta identik dengan musik tradisional yang kuno seperti gamelan dan keroncong, Lokananta bekerjasama dengan Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) Semarang dalam menciptakan gamelan touch screen yang disebut dengan e-gamelan. Usaha tersebut diharapkan mampu memperkenalkan kaum muda agar tertarik untuk mengenal dan melestarikan musik gamelan yang diiringi dengan teknologi yang sedang berkembang sehingga kesan kuno yang melekat pada image musik gamelan tidak lagi dirasakan oleh kaum muda.

MONUMEN PERS NASIONAL
Setelah berkunjung ke Lokananta, kunjungan kami diteruskan ke Monumen Pers Nasional yang terletak di Jalan Gadjah Mada Nomor 59 Surakarta. Kedatangan kami disambut oleh petugas Monumen Pers Nasional dengan sekilas sejarah singkat dan video mengenai monumen tersebut. Monumen yang difungsikan sebagai tempat pelestarian produk pers ini menyimpan berbagai macam aset sejarah penting komunikasi dan media di  Indonesia yang sangat lengkap. Koleksi yang ada pada monumen ini terdiri dari koleksi sejak zaman Belanda hingga sekarang. Monumen yang didirikan oleh Mangkunegaran VII pada tahun 1918 ini memiliki beberapa ruang-ruang tertentu yang memuat bukti media di Indonesia. Ruang yang ada di lantai satu, berisi enam diorama yang menceritakan sejarah komunikasi dan media sejak zaman nabi hingga saat ini. Selain itu juga disuguhkan berbagai macam surat kabar terdahulu, dan sepuluh patung perintis pers Indonesia yakni R. Darmongsoegito, R. Bakrie Soeriatmadja, Soetopo Wonobojo, R.M. Bintarti, Dr. Abdul Rivai, DR. GSSJ Ratulangie, RM. Tirto Adhi Soeryo, Dr. Danudirja Setiabudhi, Djamaludin Adinegoro, serta R.M. Soedarjo Tjokrosisworo.
Di lantai atas, dilengkapi dengan berbagai macam aset sejarah media seperti rekaman gerhana matahari total, mesin ketik Bakrie Soeriatmadja, Portable Mixer, Microfilm, yakni alat pemindai objek berupa koran atau majalah kuno untuk diubah ke dalam bentuk negatif film berukuran mikro untuk didokumentasikan. Kemudian ada juga Plat cetakan perdana koran Kedaulatan Rakyat, Baju wartawan Hendro Subroto yakni wartawan perang yang meliput integrasi Timor Timur ke Indonesia. Dilengkapi juga dengan Kenthongan Kyai Swara Gugah, yakni alat komunikasi tradisional yang digunakan di masa lalu, koleksi Bali Post, Telepon antar stasiun, Mesin ketik kuno buatan Amerika dan Jerman mulai dari tahun 1914 hingga tahun 1936, Kamera wartawan Udin, contoh-contoh majalah kuno, Pemancar radio kambing, kamera kuno, juga koleksi etnografi daerah Maluku.

FESTIVAL FILM SOLO
Selain kedua kunjungan utama tersebut, kami juga mengunjungi Institut Seni Indonesia untuk menyaksikan Festival Film Solo. Pada festival tersebut, seharusnya kami menyaksikan satu putaran yang terdiri dari tiga film. Namun karena kedatangan kami sedikit terlambat, kami hanya menyaksikan dua film terakhir dari tiga film dokumenter yang berjudul Blipblip, Diet Be4 Die, dan Damn It V. Ketiga  film tersebut disutradarai oleh Bani Nasution, Budi Pasadena, dan Alvin Ramandey. Festival tersebut cukup memukau karena jalan cerita yang unik, dan aktor yang mampu mendalami peran dengan baik.



PENUTUP
Ketiga tempat yang kami kunjungi mampu memperluas jendela informasi kami selaku mahasiswa mata kuliah sejarah ilmu komunikasi dan media semester dua. Kami berterima kasih atas diadakannya kunjungan ke  kota Solo. Semoga kunjungan tersebut mampu memotivasi kami agar mau mengeksplorasi lebih dalam lagi mengenai media dan komunikasi di Indonesia agar jauh lebih berkembang dari masa ke masa, dan manfaat dari kunjungan tersebut dapat mempermudah studi kami selanjutnya untuk mata kuliah sejarah ilmu komunikasi dan media.